• Goad (Sweet in marathi) Dashmi is a flatbread, a chapati made using jaggery and milk instead of water. This is a typical Maharashtrian dish. I remember whe...

Fakta Lain Tentang Latah

Latah adalah istilah melayu untuk sindrom perilaku yang dicirikan oleh echolalia, coprolalia, echopraxia, kepatuhan otomatis dan echominia. Itu istilah medis semuanya sih. Tapi intinya kamu tahu lah latah itu seperti apa.
P.M. Yap (1953) merupakan salah satu psikolog pertama yang meneliti latah secara mendalam. Menurut penelitiannya, orang latah memiliki ciri-ciri kepribadian yang belum berkembang, naif atau lemah. Secara patodinamis ia dicirikan oleh disintegrasi batasan ego dengan gangguan volisi dan perhatian. Faktor kebiasaan, rasa takut, gelitikan, usia dan histeria adalah faktor yang berpengaruh terhadap kelatahan seseorang. Ciri yang tidak diragukan lagi dari semua fenomena latah adalah bahwa kebudayaan yang memiliki fenomena ini memiliki perkembangan teknologi yang rendah dan belum menemukan atau mengembangkan teknik menguasai lingkungan alami mereka seperti yang dimiliki negara maju. Dengan kata lain, latah hanya mungkin terjadi di negara berkembang atau miskin.
Latah pada dasarnya adalah salah satu fenomena automatisme. Automatisme adalah gerakan tak sadar yang berulang-ulang, seperti membenturkan bibir atas dengan bawah, mengunyah atau menelan. Aturomatisme juga muncul dalam beberapa tipe epilepsi.
Mengenai kenapa hanya di Asia Tenggara saja fenomena latah paling sering dijumpai, alasannya karena latah tampaknya merupakan sebuah sindrom budaya. Artinya sebuah sindrom yang hanya terjadi pada kebudayaan tertentu. Konsep sindrom berbasis budaya ini sangat kontroversial dan banyak psikolog, dan antropolog menolaknya. Kontroversi ini muncul karena perdebatan antara dokter dan antropolog. Dokter percaya kalau semua orang adalah sama, sementara antropolog percaya kalau tiap kebudayaan unik.
Bagi pihak yang mendukung keberadaan sindrom berbasis kebudayaan, mereka telah membuat kategori penyakit yang termasuk sindrom berbasis budaya, salah satunya latah. Ketujuh kategori tersebut antara lain:
  1. Penyakit jiwa semu, bukan karena masalah organik dan tidak ditemukan dalam kebudayaan barat tapi dipandang sebagai penyakit dalam kebudayaan yang memilikinya. Misalnya, amok
  2. Penyakit jiwa semu, bukan karena masalah organik, dipandang sebagai penyakit oleh kebudayaan setempat, namun memiliki penyakit yang mirip dengan kebudayaan barat, hanya saja ada ciri khas tersendiri atau kehilangan beberapa ciri. Contohnya shenjing shaijo atau neurasthenia di China, yang mirip dengan gangguan depresi umum namun memiliki ciri somatis yang lebih nyata dan tidak memiliki mood depresif yang mencirikan depresi di negara barat. Penyakit lain adalah taijin kyufusho yang dipandang sebagai fobia sosial khas jepang.
  3. Entitas penyakit tersendiri yang belum ditemui dalam masyarakat barat. Contohnya adalah kuru, sejenis kegilaan dan dementia progressif asli dari masyarakat kanibal Papua Nugini. Kuru kemudian digolongkan sebagai penyakit virus lambat, dan diyakini akibat hasil dari protein rusak atau prion yang mampu mereplikasi diri dengan merusak protein lain di otak. Kuru dipandang sebagai jenis penyakit Creuzfeldt-Jakob, dan ekuivalen atau terkait dengan scrapie, sejenis penyakit domba, dan encepalopati spongiform bovine (BSE) atau penyakit sapi gila.
  4. Penyakit yang dapat memiliki penyebab organis, dan berkaitan dengan subset kategori penyakit barat atau gejala yang tidak dipandang gejala penyakit di barat. Dengan kata lain, fenomena ini dapat terjadi pada banyak budaya, namun hanya dipandang sebagai penyakit dalam satu atau sedikit budaya. Sebagai contoh adalah koro, rasa takut pada melemahnya kelamin. Koro kadang memiliki realitas anatomi fisiologis, dan tampaknya terjadi secara independen secara budaya sebagai delusi atau phobia dalam banyak budaya.
  5. Mekanisme atau idiom penyakit yang diterima secara budaya yang tidak sesuai dengan mekanisme allopatik atau idiom barat, dan dimana dalam latar barat daapt menunjukkan pemikiran atau khayalan atau delusi yang tidak pantas secara kultural. Sebagai contoh adalah praktek sihir, rootwork (Karibia) atau mata setan (Laut Tengah dan Amerika Latin)
  6. Keadaan atau seperangkat perilaku, sering disertai dengan trance; mendengar, melihat dan/atau berkomunikasi dengan roh atau orang mati; atau perasaan kalau seseorang telah kehilangan rohnya karena rasa takut atau duka; yang bisa dilihat patologis atau pun tidak dalam sudut pandang budaya asli mereka. Namun bila tidak diakui secara wajar oleh budaya dapat menunjukkan kegilaan, delusi atau halusinasi di barat.
  7. Gejala yang terjadi dalam latar budaya yang pada kenyataannya tidak ada namun mungkin benar seperti dilaporkan antropolog atau psikolog. Contohnya adalah windigo (Indian Algonkian), gejala kanibalisme yang diragukan kebenarannya, namun dapat membenarkan pengusiran atau eksekusi seseorang sama halnya dengan tuduhan perbuatan sihir.
Latah juga termasuk salah satu dari tujuh kondisi di atas, walaupun tidak jelas dimana posisinya yang pasti. Hal ini karena latah hanya ditemukan dalam beberapa kebudayaan saja yang ada di dunia. Latah dipicu oleh refleks mendadak yang membuat korban mengalami trance dan melakukan ucapan berulang dan/atau automatisme fisik.
Latah paling banyak di temukan di Malaysia. Menurut Robert Winzeler, latah memiliki fungsi sosial tertentu bagi masyarakat Malaysia dan Kalimantan. Ia menyimpulkan kalau latah tidak pantas dipandang sebagai penyakit atau sindrom.
Referensi
  1. Prince, R. H. 2000. Transcultural Psychiatry: Personal Experiences and Canadian Perspectives. Canadian Journal of Psychiatry, 45: 431–437
  2. Simons, R. C.; Hughes, C. C. (eds.) 1985. The Culture-Bound Syndromes: folk illnesses of psychiatric and anthropological interest. Dordrecht, The Netherlands: D. Reidel Publishing Company.
  3. Winzeler, R. L. 1995. Latah in Southeast Asia: The History and Ethnography of a Culture-bound Syndrome. Cambridge: Cambridge University Press. pp. 33–51
  4. Yap, P.M. 1952. The Latah Reaction: Its Pathodynamics and Nosological Position. Journal of Mental Science. XCVIII, 1952: Pp. 515-564.