[FOTO] Ilustrasi |
Sebuah peristiwa malpraktik kedokteran terjadi RS St Joseph di pusat kota New York, Amerika Serikat. Meski sang pasien selamat dari malpraktik itu, namun dia akhirnya meninggal dunia karena bunuh diri, 16 bulan kemudian.
Kisah malpraktik ini terungkap setelah ada penyelidikan Departemen Kesehatan AS tahun 2009 atas penanganan pasien wanita bernama Colleen S Burns yang dilarikan ke RS itu dengan keluhan over dosis obat penenang, Xanax, pada Oktober 2009.
Dilansir dari Dailymail edisi 9 Juli 2013, ada beberapa kesalahan tim medis rumah sakit itu dalam mengevaluasi kondisi Burns. Akibat kesalahan ini, tim dokter kemudian menyimpulkan wanita itu telah mengalami mati otak dan bersiap melakukan organ donor. Keluarga Burns pun setuju, saat dokter menginformasikan akan mencabut alat bantu pernafasan dan mendonasikan organ tubuhnya.
Masalah kemudian muncul saat tim medis bersiap untuk mengambil organ tubuh Burns. Ternyata, dia masih hidup.
Sehari jelang operasi pengambilan organ Burns, seorang suster menemukan fakta bahwa si pasien masih merespons sentuhan di kulitnya. Untuk meyakinkan penglihatannya, suster kemudian memegang jari salah satu kaki Burns.
Wanita berusia 41 tahun itu kemudian merespons dengan menekukkan jari-jari kakinya ke bagian bawah. Itu pertanda jelas Burns masih hidup.
Tanda-tanda kehidupan Burns semakin jelas terlihat, saat dia dibawa menuju ruang operasi, lubang hidung wanita itu terlihat bergerak, bahkan dia bernafas secara mandiri tanpa dibantu alat. Bibir dan lidahnya turut bergerak.
Suster kemudian menginformasikan kepada dokter soal temuannya ini. Namun dokter mengabaikan informasi suster dan malah tetap melanjutkan proses operasi.
Tindak malpraktik selanjutnya yang dilakukan dokter yaitu mereka menyuntikkan obat penenang Ativan, namun tanpa dicantumkan di dalam catatan prosedur dokter. Bahkan temuan suster sebelumnya juga tidak ikut dicatat oleh dokter.
Menurut seorang dokter bedah vaskular umum dan pengajar fakultas kedokteran di New York Medical College, David Mayer, penggunaan obat penenang semacam itu cukup aneh.
"Dengan memberikan obat itu, malah akan membuat pasien tidak merespons apa pun. Apabila Anda harus memberikan obat penenang atau obat penghilang rasa sakit, artinya pasien tidak mengalami mati otak dan seharusnya Anda tidak memberikan obat itu," ujar Mayer.
Alhasil, Burns tidak jadi dioperasi, karena tiba-tiba dia membuka matanya.
Meninggal 16 bulan kemudian
Kisah malpraktik ini terungkap setelah ada penyelidikan Departemen Kesehatan AS tahun 2009 atas penanganan pasien wanita bernama Colleen S Burns yang dilarikan ke RS itu dengan keluhan over dosis obat penenang, Xanax, pada Oktober 2009.
Dilansir dari Dailymail edisi 9 Juli 2013, ada beberapa kesalahan tim medis rumah sakit itu dalam mengevaluasi kondisi Burns. Akibat kesalahan ini, tim dokter kemudian menyimpulkan wanita itu telah mengalami mati otak dan bersiap melakukan organ donor. Keluarga Burns pun setuju, saat dokter menginformasikan akan mencabut alat bantu pernafasan dan mendonasikan organ tubuhnya.
Masalah kemudian muncul saat tim medis bersiap untuk mengambil organ tubuh Burns. Ternyata, dia masih hidup.
Sehari jelang operasi pengambilan organ Burns, seorang suster menemukan fakta bahwa si pasien masih merespons sentuhan di kulitnya. Untuk meyakinkan penglihatannya, suster kemudian memegang jari salah satu kaki Burns.
Wanita berusia 41 tahun itu kemudian merespons dengan menekukkan jari-jari kakinya ke bagian bawah. Itu pertanda jelas Burns masih hidup.
Tanda-tanda kehidupan Burns semakin jelas terlihat, saat dia dibawa menuju ruang operasi, lubang hidung wanita itu terlihat bergerak, bahkan dia bernafas secara mandiri tanpa dibantu alat. Bibir dan lidahnya turut bergerak.
Suster kemudian menginformasikan kepada dokter soal temuannya ini. Namun dokter mengabaikan informasi suster dan malah tetap melanjutkan proses operasi.
Tindak malpraktik selanjutnya yang dilakukan dokter yaitu mereka menyuntikkan obat penenang Ativan, namun tanpa dicantumkan di dalam catatan prosedur dokter. Bahkan temuan suster sebelumnya juga tidak ikut dicatat oleh dokter.
Menurut seorang dokter bedah vaskular umum dan pengajar fakultas kedokteran di New York Medical College, David Mayer, penggunaan obat penenang semacam itu cukup aneh.
"Dengan memberikan obat itu, malah akan membuat pasien tidak merespons apa pun. Apabila Anda harus memberikan obat penenang atau obat penghilang rasa sakit, artinya pasien tidak mengalami mati otak dan seharusnya Anda tidak memberikan obat itu," ujar Mayer.
Alhasil, Burns tidak jadi dioperasi, karena tiba-tiba dia membuka matanya.
Meninggal 16 bulan kemudian
Kendati dokter dan RS melakukan malpraktik, baik Burns atau keluarganya tidak menuntut. Menurut sang Ibu, Lucille Kuss, gugatan tidak akan membuat perubahan yang signifikan bagi putrinya. Sebab, 16 bulan kemudian Burns benar-benar meninggal karena bunuh diri.
"Dia menderita depresi berat, sehingga peristiwa kemarin tidak membuat perbedaan apa pun," ungkap Kuss.
Walau pihak keluarga tidak menuntut RS, namun Departemen Kesehatan AS mengenakan denda sebesar US$6000 atau Rp59 juta kepada RS tersebut. Menurut Depkes, RS St. Joseph melakukan kesalahan fatal karena tidak mengevaluasi secara menyeluruh kondisi Burns.
Bahkan mereka abai terhadap informasi soal tanda-tanda kehidupan dari pasien yang disampaikan suster. Alhasil, pihak RS diperintahkan Depkes setempat untuk mempekerjakan seorang konsultan untuk meninjau kualitas program penjaminan bagi pasien.
Selain itu, mereka juga diminta untuk merekrut seorang ahli neurologi untuk mengajarkan kepada staf di RS bagaimana mendiagnosa secara tepat pasien yang telah mengalami mati otak. Juru bicara RS St. Joseph mengatakan institusi mereka telah belajar dari pengalaman masa lalu dan telah memodifikasi kebijakan mereka.
"Dia menderita depresi berat, sehingga peristiwa kemarin tidak membuat perbedaan apa pun," ungkap Kuss.
Walau pihak keluarga tidak menuntut RS, namun Departemen Kesehatan AS mengenakan denda sebesar US$6000 atau Rp59 juta kepada RS tersebut. Menurut Depkes, RS St. Joseph melakukan kesalahan fatal karena tidak mengevaluasi secara menyeluruh kondisi Burns.
Bahkan mereka abai terhadap informasi soal tanda-tanda kehidupan dari pasien yang disampaikan suster. Alhasil, pihak RS diperintahkan Depkes setempat untuk mempekerjakan seorang konsultan untuk meninjau kualitas program penjaminan bagi pasien.
Selain itu, mereka juga diminta untuk merekrut seorang ahli neurologi untuk mengajarkan kepada staf di RS bagaimana mendiagnosa secara tepat pasien yang telah mengalami mati otak. Juru bicara RS St. Joseph mengatakan institusi mereka telah belajar dari pengalaman masa lalu dan telah memodifikasi kebijakan mereka.
0 Response to "Depresi Karena Malpraktik, Wanita Ini Mati Bunuh Diri"
Posting Komentar